Merindukan Panggung

“Suminten Edan!!”

“Suminten Edan!!”

“Bocah wadon gemblung gaweane cengengas-cengenges dewe..Wooo..dasar wong edan!”

 

Sekilas, gelak tawa puluhan anak usia belia dihadapanku kembali berkelebat. Mungkin puluhan atau boleh jadi ratusan.

Diantara mereka yang berbaju coklat tanah berdasi merah putih, tersembul barang satu dua orang-orang tua berbaju kain blacu atau drill abu-abu. Pantalon, kemeja atau blazer. Semua tergelak saat Suminten yang bertingkah gila menghampiri mereka dengan pokal gaya yang menggelikan.

Di aula besar, mereka bersorak, bertempik girang menggoda Suminten.

Kadang Suminten menangis, lalu tiba-tiba tertawa.

“Ten, minten… sini…sini… mau mangga, nih aku punya mangga paling enak sedunia.”

Suminten datang menghampiri anak laki-laki yang memanggilnya.

“Nih, mangga paling enak..mangga-ruk-garuk pantatku.”, sambil menyorongkan pantat ke arah Suminten.

Suminten merengut, lalu berkelebat pergi dalam gerutu.

Semua pun tergelak liar, tawa orang-orang pecah dalam gema yang mengalahkan hawa panas dari lapangan sebelah aula.

***

Tentu bukan gila sebenar-benarnya. Cerita itu hanya potongan fragmen dalam pentas teater sekolah kami. Suminten Edan tajuknya. Fragmen komedi berdurasi dua jam yang kami sajikan di akhir minggu penerimaan siswa baru.

Aku sendiri lupa, siapa nama pemeran Suminten waktu itu. Jelasnya, dia anak laki-laki kurus yang sering bergaya gemulai. Adik kelas. Gayanya sangat pas dengan karakter Suminten yang gila. Kupilih karena memang gaya gemulainya cocok dengan karakter wanita Suminten.

Hampir satu jam pertunjukan kami. Semuanya selesai dan ditutup dengan tepuk tangan gempita dari penonton.

Pertunjukan kami sukses. Penonton puas. Pemain puas. Kerja keras berlatih tiap hari sepulang sekolah terbayarkan sudah. Kontan!

***

“Mas, aku malu sebenarnya. Entah harus kusembunyikan dimana mukaku Senin depan. Anak-anak baru pasti mengolok-olokku.”, celetuknya di balik panggung setelah pentas berakhir.

“Tak apa, penjiwaanmu total. Luar biasa! Pentas ini jadi luar biasa berkat totalitasmu dan teman-teman.”, seruku menenangkan.

Sejujurnya, memang aku puas. Sebab inilah pentas terakhir yang kami mainkan sebelum aku berhenti aktif di Teater Ganesha. Kelas tiga, menjelang pertengahan semester pertama. Aku harus menyudahi “karir” sebagai pemain panggung sekolah sekaligus juga menyerahkan posisi ketua teater pada adik kelas.

Setidaknya, kututup masa kepengurusanku dengan sebuah pentas yang (hampir) sempurna. Kuwariskan anggota-anggota baru yang lebih banyak dari masa kepengurusan sebelumnya.

***

Tak terasa dua puluh tahun berlalu. Suminten Edan tinggal cerita yang membawa senyum simpul setiap kali mengingatnya.

Menjadi kisah lucu di barisan kisah lain yang kini menyeruakkan haru biru.

Mengumpat guru setelah paginya didamprat karena datang terlambat. Berteriak tentang kemanusiaan meski sejatinya tak mengerti bahwa berita perang bukan sesederhana yang tampak di layar kaca. Berseru tentang cita-cita. Mengolahnya menjadi sketsa drama.

Mencoreng muka, menghias panggung, menyiapkan segala-galanya bersama-sama.

Sejenak terpengkur dalam meditasi dan tenggelam dalam lelehan air mata, lalu tergetar oleh ucap tulus suara penonton yang berucap sederhana, “Akting kalian keren lho Mas..”

Teater Ganesha. Ruang ekspresi yang luar biasa. Tak jarang aku memang benar-benar merindukannya.

 

 

tegalrejo,

hujan dini hari 12 April, 2017

 

Leave a comment