Manajer tak Berilmu, Mau?

Katanya, pemimpin tak perlu pintar. Yang pintar itu peneliti dan guru.

Apa iya? Kalau tidak berilmu bagaimana bisa jadi manajer?

Seperti buku, tulisannya bisa panjang bisa pendek, bisa tebal bisa tipis, isinya jelas berbeda.

 

Ada pameo, jadi pemimpin tak harus pintar. Kalau pintar jadilah guru atau peneliti. Benarkah? Tidak selalu. Kata siapa? Ya kata saya.

Pemimpin cukuplah orang yang pintar mengatur. Bahasa modernnya, memiliki kemampuan manajerial. Tidak perlu orang yang memiliki intelejensia super. Tak perlu cerdas atau pintar. Kecerdasan orang justru membuatnya tidak bisa memimpin karena semua diukur dengan standar kepintarannya. Padahal, rerata orang tidak sepintar dia.

Pemimpin juga tidak perlu sekolah tinggi. Bahkan kalau perlu tidak usah sekolah formal. Toh, banyak kursus-kursus kepemimpinan yang cukup diselesaikan  dalam seminggu dua minggu. Materinya padat dan aplikatif. Lain dengan materi sekolah yang bertele-tele, memakan waktu panjang, dan mahal biayanya. Belum tentu setelah pintar di sekolah lalu sukses dalam karir.

Pendapat saya sedikit berbeda. Pejabat dan pimpinan itu sama. Pejabat dan bos…kurang lebih identik. Tapi, pimpinan dengan pemimpin itu berbeda.

Pemimpin yang baik, selain dia memiliki kemampuan manajerial juga harus punya bekal ilmu dan wawasan yang luas. Ilmu dan wawasan luas identik dengan pintar. Cerdas? Tentu.

Orang dengan wawasan yang luas dan ilmu yang banyak tentu bukan orang bodoh. Pemimpin yang baik, berwawasan luas, berilmu dan berpengalaman banyak jelas bukan orang bodoh. Kalau bodoh, tidak mungkin berilmu. Termasuk ilmu manajemen, kalau bodoh…apa iya bisa menguasai?

Berbeda dengan pejabat. Pejabat artinya orang yang memiliki jabatan. Ini identik dengan posisi kepala, pimpinan, manajer, bos dan sebutan lain yang kadang berbeda tergantung bidangnya.

Pimpinan atau pejabat ini yang sering diidentikkan dengan pemimpin. Padahal, jauh berbeda. Pemimpin belum tentu memiliki jabatan. Pemimpin adalah orang yang diserahi tanggung jawab memimpin. Bisa jadi bukanlah pejabat, atau pimpinan. Staf atau bawahan juga bisa jadi pemimpin.

Nah, pimpinan atau pejabat inilah yang sering disalah-kaprahkan dengan kapasitas, kepintaran dan penguasaan ilmu. Kalau hanya untuk jadi pejabat ya memang tidak perlu pintar. Tak perlu wawasan yang luas dan kedalaman ilmu. Asal mau jadi penjilat, atau main sogokan, memanfaatkan kedekatan dengan penguasa, atau main telikung dan fitnah rekan kerja, jabatan bisa saja didapat.

Banyak juga bukan model pejabat yang seperti ini? Pejabat-penguasa dan pimpinan yang bermental machiavellian. Sanggup menghalalkan segala cara untuk meraih kejayaan.

Mereka-mereka ini biasanya bisa dikenali dengan kalimat apologi semacam “Jadi pemimpin tak perlu pintar”, “Pejabat tidak harus menguasai ilmu”, “Orang pintar tempatnya di kampus atau di laboratorium.”

Hampir bisa dipastikan mereka adalah orang-orang yang senang dengan short-cut, jalan pintas. Mereka juga biasanya memiliki ciri yang hampir sama, mental berjuang yang rendah. Kurang tahan menghadapi kesulitan-kesulitan. Senang mencontek, menyerobot antrian, katebelece, memo-memo “sakti”, dan semacamnya. Singkatnya, semua bisa dilakukan untuk memuluskan jalan mencapai puncak tujuan.

Oleh kebiasaan menggunakan jalan pintas, mereka umumnya tidak menguasai bidang yang digelutinya. Saat masalah menghadang, yang ditonjolkan untuk menguraikan permasalahan adalah cara-cara short-cut. Akar masalahnya belum tentu terselesaikan. Yang penting asal problematika yang tampak jadi tak terlihat. Imbasnya, masalah akan bertumpuk dan terus bertumpuk karena akar permasalahan utama sebenarnya tidak tersentuh.

Jadi, masih percaya kalau jadi pemimpin tak harus pandai? Mau punya manajer yang saat berdiskusi tentang problematika di tempat kerja justru tidak nyambung karena tidak menguasai ilmu? Mau masalah yang dihadapi dalam pekerjaan tak terselesaikan dan berlarut-larut hanya karena pimpinan tak kompeten?

Lalu apa kata duniaa….????

Leave a comment