Maaf.. bagi yang tidak berkenan…

Ada yang menarik dari pesan grup Wh**sapp tempo hari. Sebuah pesan dari salah satu anggota grup berisi tentang agama, lebih spesifik..menyebarkan pengajaran berdasarkan sebuah ayat kitab suci agama tertentu. Menariknya, rekan ini memulai postingnya dengan permintaan maaf apabila ada yang berbeda keyakinan dan merasa kurang nyaman.

Sejatinya berbagi informasi adalah sebuah hal yang jamak di umumnya grup pertemanan media sosial. Banyak info tersebar dari kesehatan sampai politik, dari cerita lucu sampai inspirasi dan motivasi. Kadang kala informasi itu benar dan berasal dari sumber terpercaya, tapi tidak sedikit juga yang dipertanyakan kebenarannya.

Terlepas dari isi informasi, saya justru tertarik dengan attitude rekan ini. Di awal pesan rekan ini menulis permohonan maaf secara eksplisit bahwa info ini diperuntukkan hanya bagi anggota grup dari agama tertentu. Pengirim pesan menyampaikan bahwa mungkin hal ini menimbulkan ketidak-nyamanan bagi anggota lain.

Jadi menarik perhatian saya karena dari sekian banyak grup pertemanan dunia maya yang saya ikuti baru kali ini ada permohonan ijin sekaligus permintaan maaf yang ditulis sebagai pembuka dengan terang-terangan pula. Kebetulan saya adalah anggota grup yang berbeda keyakinan. Meskipun posting tersebut tidak mengusik saya, saya harus akui sangat mengapresiasi tindakannya.

***

Umumnya, sudah menjadi kebiasaan kita saat menemukan informasi menarik–entah apapun subjeknya dan darimanapun sumbernya–kita merasa gatal ingin segera berbagi dengan kawan. Seringkali kita hanya langsung berbagi saja tanpa melihat apakah posting kita sesuai dengan tujuan dibuatnya grup. Sangat sering kita tidak aware dengan siapa saja anggota grup yang kita ikuti ini. Tak jarang kita langsung salin dan tempel informasi yang kita rasa menarik. Padahal, belum tentu info itu menarik bagi semua anggota grup.

Informasi tentang agama saya kira adalah hal yang paling sering dibagikan di grup pertemanan, apapun media sosialnya. Saya yakin bahwa ini dilandasi dengan niat baik, harapannya informasi tersebut berguna bagi anggota lain. Yang kurang hanyalah pertimbangan apakah itu benar benar berguna bagi anggota lain. Kita agak gegabah dalam hal ini.

Indonesia memang dikenal sebagai bangsa yang religius. Saya masih ingat Daniel Powter–penyanyi lagu Bad Day–saat diwawancarai dalam talk show di salah satu televisi swasta menyampaikan kesan pertama saat datang ke Indonesia adalah masyarakatnya yang religius.

Selain ramah tamah dan rendah hati, spiritualitas adalah sifat baik yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Begitu religiusnya sehingga media sosial sekarang menjadi saluran yang paling sering digunakan untuk mengajak orang lain semakin religius. Tapi acap kali harus diakui seringkali menjadi berlebihan.

Semuanya lalu dikait-kaitkan dengan agama. Pemilihan kepala daerah ramai oleh isu agama. Jualan online dibumbui dengan cerita dan info agama. Bahkan belum lama ini saya membaca sebuah kanal donasi online juga diwarnai dengan diskusi tentang perbedaan pandangan agama. Ini yang saya katakan berlebihan.

Forumnya adalah tentang donasi membantu sesama anak bangsa yang sedang berkesusahan karena himpitan ekonomi. Tentang ajakan untuk ikut berpartisipasi dalam usaha seorang bapak di Nusa Tenggara Timur merawat anak-anak terlantar yang ditinggalkan oleh para orang tuanya. Urusannya dengan agama? Tentu ada, tapi tidak dengan perbedaan keyakinan atas agama tertentu. Jadi, bedebat tentang perbedaan dogma jadi tidak relevan dalam diskusi pada waktu itu.

***

Saya cukup beruntung memiliki kesempatan mengunjungi beberapa negara di benua Eropa. Saya juga diberi kesempatan jalan-jalan ke Jepang dan Malaysia. Ada kultur yang sangat berbeda dalam memperbincangkan agama antara orang-orang Eropa dan Jepang dengan saudaranya dari Malaysia dan Indonesia. Mereka tidak membicarakan agama di ruang publik.

Rekan-rekan dari Malaysia memiliki kultur yang sangat mirip dengan Indonesia dalam membicarakan agama. Sebaliknya dengan kolega dari Eropa dan Jepang. Mereka menghindari..bahkan sangat menghindari membicarakan soal-soal privat dalam perbincangan. Karena agama adalah soal privat, hubungan masing-masing manusia dengan entitas yang dianggap transenden dan berkuasa, maka topik ini sangat jarang muncul dalam diskusi sehari-hari.

Boleh jadi karena mereka sekuler. Boleh jadi juga karena banyak orang-orang ini adalah agnostik atau bahkan ateis. Tapi bukan itu soal utama yang saya ingin tuliskan disini.

Beragama itu bagus. Religius dan spiritual rasanya sifat yang sangat baik. Tapi berlebihan dan membabi buta rasanya bukanlah suatu hal yang arif. Kecuali kita memang memiliki keinginan dipandang dan diberi label sebagai insan yang sangat luar biasa lurus dan tanpa dosa, memperbincangkan soalan  agama di forum yang sangat plural bagi saya pribadi bukan sesuatu pilihan yang manis.

Keyakinan adalah salah satu hal paling privat dalam kehidupan manusia. Serampangan mengumbar itu, alih alih mendapatkan respek dari orang, kita justru sukses membuat orang lain merasa risih. Apalagi, misalnya, dalam forum donasi yang saya utarakan di awal tulisan ini. Ini pendapat saya.

Bayangkan kalau kita mangumbar soal hubungang intim kita dg pasangan ke khalayak ramai. Bagaimana kita nungging, tengkurap, telentang kita ceritakan dengan gamblang. Bagaimana pasangan kita mengulum bagian paling pribadi dari tubuh kita, bagaimana kita bisa membuat pasangan menggelinjang, melenguh dan mengerang penuh kenikmatan, bukanlah sesuatu yang menarik bagi sebagian besar orang lain (saya hampir yakin anda sedang menjenggit risih saat membaca bagian ini bukan?).

***

Ada hal lain yang patut menjadi pertimbangan kita dalam hal ini. Bangsa Indonesia sudah lama dikenal sebagai bangsa yang toleran. Teleran menurut kamus besar bahasa indonesia memiliki arti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Sifat toleran membawa konsekuensi bahwa kita harus menghargai, membiarkan dan membolehkan kelompok lain menikmati perbedaan.

Salah satu caranya bisa dimulai dengan berpikir dan melihat dengan sudut pandang orang lain. Try the different shoes!

Berbagi kebaikan tentu tidak salah, justru sangat dianjurkan. Tapi ada saat dimana orang tidak memiliki standar yang sama atas sebuah kebaikan. Apalagi tentang iman. Ada perbedaan dogmatis yang kadang memang bukan untuk diperdebatkan bukan?

Kalau memang grup pertemanan dibuat untuk kepentingan belajar spiritualitas tentu berdebat tentang iman jadi hal biasa dan wajar. Sebaliknya kalau grup pertemanan itu dibuat dengan tujuan lain, tentu kita harus menghargai itikad lain tersebut.

Lebih baik sebisa mungkin menyesuaikan dengan tujuan. Setidaknya… seandainya kita merasa perlu berbagi sesuatu yang sedikit melenceng dari tujuan dibentuknya forum atau grup, katakan “maaf..” sehingga orang yang berbeda pandangan, prinsip, atau bahkan keyakinan akan bisa melewatkan.

Ini adalah pertanyaan retoris, bukankah grup pertemanan dibuat sebagai ajang berhubungan dan menghubungkan? Apa jadinya bila grup justru memperuncing perbedaan dan menebalkan sekat antara anggotanya?

Marilah mulai menghargai orang lain dari diri kita. Bisa kita mulai dengan kalimat sederhana “maaf bagi yang memiliki keyakinan yang berbeda….”

 

Selamat menghargai perbedaan,

Salam

 

Leave a comment