Setelah Vonis Ahok, Selanjutnya Apa dan Harus Bagaimana?

Alih-alih memperkeruh suasana dan memperuncing perselisihan, rasanya ini saat yang tepat untuk kembali menilik diri, sudah layakkah kita dimata Tuhan dan sesama manusia?

Dua hari yang lalu, berturut-turut saya menulis dua hal, satu tulisan cukup panjang tentang mangkatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX, satu tulisan pendek—status facebook—tentang ungkapan pernyataan sikap. Entah kebetulan entah tidak, tapi sedikitnya bisa juga dihubungkan dengan situasi hari-hari terakhir ini.

Seharian ini, riuh rendah orang berkomentar tentang vonis yang dijatuhkan untuk Basuki Tjahaya Purnama a.k.a Ahok. Menambah riuh setelah sebelumnya banyak orang berkomentar dan menyatakan pendapat pribadinya tentang pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia.

Ada yang secara eksplisit menyatakan rasa puas atas keberhasilan memenjarakan Ahok. Ada yang terang-terangan menyatakan kekecewaan. Sebagian menangis sebagian yang lain tertawa girang—harfiah maupun kiasan. Sebagian percaya ini isu politis, sebagian lain berkata semua ini tidak lebih dari pidana. Sebagian menghubungkan dengan isu mayoritas-minoritas, sebagian yang lain lagi menyangkal. Bahkan tidak sedikit yang mengkaitkan dengan ayat kitab suci atau cerita sejarah yang dikutip dari kisah bernuansa teologis; baik dari Kitab Suci maupun Al-Quran.

Saya pribadi justru bertanya-tanya, lebih lagi bertanya pada diri saya sendiri, apakah setelah vonis ini semuanya selesai? Kalau belum lalu selanjutnya apa dan harus bagaimana?

  1. Bagi saudara-saudara golongan yang berseberangan paham dengan Ahok, apakah perjuangan rekan-rekan sudah selesai dan cukup sampai disini? Apakah selesai dengan putusan bersalah sebagai penista agama? Atau justru ini adalah awal permulaan untuk menakar diri sendiri, “apakah tindakan saya kedepannya dapat lebih baik dari dia ataukah justru saya yang akan menistakan agama saya sendiri?”
  2. Bagi saudara-saudara yang berbagi paham dengan Ahok (apapun agama dan golongannya), apakah perlu menyatakan perlawanan secara fisik, dengan demo misalnya, atau tindakan anarkis? Atau sebaliknya, menyerahkan proses “perlawanan” dengan cara dan kaidah yang benar, melalui hukum misalnya? Atau menyerahkan urusan pada peradilan tertinggi dan menyelesaikannya dengan cara-cara diluar peradilan hukum positif?
  3. Bagi saudara-saudara yang menganggap bahwa ini ketidakadilan terhadap minoritas, apakah ajaran keadilan berarti mata ganti mata, atau sebaliknya, serahkanlah pipi kirimu bagi mereka yang menampar pipi kananmu?
  4. Bagi saudara-saudara yang menganggap bahwa ini tidak ada urusannya dengan isu minoritas versus mayoritas, apakah yang harus dilakukan untuk kembali menjahit polarisasi yang terlanjur terjadi? Apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan keteduhan bagi bangsa ini?
  5. Apakah kita mesti memperpanjang segala hal remeh temeh tentang caci maki, sinis dan sindir-menyindir?
  6. Dan banyak lagi pertanyaan lain yang bisa kita tanyakan pada diri kita masing-masing, sejauh mana kita harus berdiri dan bersikap.

Saya sedang tidak ingin memilih berdiri di pihak manapun. Saya justru sedang benar-benar berusaha memaknai posisi saya di konstelasi yang lebih luas, hubungan transenden saya dengan Pencipta saya dan hubungan profan saya dengan sesama.

Dan satu lagi sebagai penutup, jangan tanyakan apa agama saya, siapa tuhan saya, dari golongan mana saya berasal…. cukup ketahui bahwa saya adalah salah satu rakyat Indonesia dengan segenap latar belakang saya.

Sekali lagi, alih-alih memperkeruh suasana dan memperuncing perselisihan, rasanya ini saat yang tepat untuk kembali menilik diri, sudah layakkah kita dimata Tuhan dan sesama manusia? Atau justru kita sedang menistakan diri kita sendiri tanpa kita sadari?

*** lalu mas petruk pun melenggang sambil bernyanyi….

Tutupen botolmu, tutupen oplosanmu,
Emanen nyawamu,
Ojo mbok terus-teruske
Mergane, ora ono gunane….

Coba sawangen kae konco kancamu,
Akeh sing podo gelempangan,
Ugo akeh sing kelesetan,
Ditumpakke ambulan

Yo wis cukupno anggonmu mendem,
Yo wis cukup anggonmu gendeng,
Yo mari-mario, yo leren lereno
Ojo diterus-terusno

Tutupen botolmu, tutupen oplosanmu,
Emanen nyawamu,
Ojo mbok terus-teruske
Mergane, ora ono gunane….

 

p.s : silahkan di like atau share kalau dirasa ini berguna, ijin tidak diperlukan.

Leave a comment